Selasa, 18 Mei 2010

Etika Profesi 3: Euthenasia Bagi Seorang Dokter

Seorang dokter yang sedang menangani seorang pasien kecelakaan mobil. Salah satu saraf motoriknya putus sehingga dia harus menjalani pengobatan medis cukup lama dan mahal. Namun sudah lama menjalani pengobatan, tidak ada kesembuhan pada diri pasien. Bahkan sudah dalam hitungan tahun, pasien tidak bisa bicara dan melakukan gerak apapun. Dia sudah seperti mayat hidup di rumah sakit tersebut. Biaya yang dikeluarkan sudah sangat banyak dan akhirnya keluarga memutuskan untuk melakukan eutenasia (suntik mati) pada dokter yang menangani. Dengan berdalih ingin meringankan beban keluarga dan atas permintaan pasien juga, dokter tersebut melakukan suntik mati pada pasien tersebut.

Komentar: Melakukan suntik mati sampai sekarang masih dalam perdebatan perihal hukumnya. Banyak yang pro terhadap keputusan ini namun ada juga yang kontra karena dianggap melanggar hak hidup manusia di dunia. Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa sebelum melakukan suntik mati, terjadi perang batin di dalam diri si dokter. Melakukan suntik mati sangatlah bertentangan dengan sumpah medis yang dilakukan pada saat dia dilantik menjadi tenaga medis. Namun kenyataan untuk melakukan suntik mati merupakan jalan terbaik bagi pasien maupun keluarganya. Penderitaan yang dirasakan pasien akan berakhir sementara keluarga tidak akan dibebankan lagi dengan biaya pengobatan yang tinggi dan tiada akhirnya. Memang terlihatnya sedikit immoral namun jika itu yang terbaik, kenapa tidak dilakukan? Tentu saja saya yakin pengambilan keputusan seperti ini sudah dipikirkan matang-matang bagi dokter tersebut.

Saran: Sebaiknya dokter yang telah memutuskan suntik mati bagi pasien semacam ini harus dilakukan dengan pertimbangan tinggi. Dokter harus menganalisa mana kemungkinan terbaik bagi pasien tersebut untuk dilakukan. Jika memang kemungkinan sembuhnya masih lebih dari 50%, walaupun memakan waktu agak lama, maka sebaiknya suntik mati tidak dilakukan. Namun jika sebaliknya, maka suntik mati bisa sah dilakukan asalkan dengan persetujuan pasien, pihak keluarga, rumah sakit, dan dokter melalui surat perjanjian berbadan hukum agar tidak ada masalah di kemudian hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar